Pages

Kamis, 19 Februari 2015

Tujuan Nikah

TUJUAN NIKAH
وَمِنْ ءَايتِهِ انْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ انْفُسِكُمْ ازْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ط إِنَّ فِى ذلِكَ لاَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ [1]
Artinya:
Dan sebagian dari ayat-ayat-Nya (=tanda kekuasaan) itu bahwa Dia menciptakan untuk kamu sekalian itu dari diri kalian sendiri akan jodoh-jodoh supaya kalian tingggal (tenang) padanya. Dan Dia menjadikan di antara kalian itu akan percintaan dan kasih sayang. Sesungguhnya di tentang yang demikian itu menjadi ayat-ayat untuk orang-orang yang sama berpikir.

الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا انْفَقُوْا مِنْ امْوَالِهِمْ ج [2]
Artinya:
Orang laki-laki itu jadi penegak (=pemimpin, pengatur) atas para wanita dengan sebab apa yang Allah telah lebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan dengan sebab apa-apa yang mereka (laki-laki) telah belanjakan dari harta benda mereka.


فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ ج [3]
Artinya:
Maka wanita-wanita yang baik itu ialah wanita yang tunduk kepada Allah, yang menjaga kehormatan/dirinya dalam keadaan ghaib dengan apa yang Allah telah peliharakan.

وَالّتِى تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ صلى فَاِنْ اطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاَ ج إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا [4]
Artinya:
Dan perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan nusyuz mereka itu, maka nasihatilah mereka di tempat-tempat tidur dan/atau pukullah mereka. Maka jika mereka (wanita) itu menthaati kalian (laki-laki), maka janganlah kalian mencari-cari jalan atas (menyusahkan) mereka. Sesungguhnya Allah itu adalah Maha tinggi, Maha besar.

Berdasarkan pengertian dua ayat tersebut bisa diketahui bahwa di antara tujuan nikah itu adalah:
Hal ini dikarenakan pada pokoknya antara laki-laki dan perempuan itu ada hubungan timbal balik yang saling menyempurnakan. Saling ketergantungan atau saling memerlukan-nya. Ini sebagai contoh misalnya dalam hal melakukan pekerjaan.
Pada umumnya, wanita tidak begitu bisa menyelesaikan/melakukan pekerjaan yang berat, yang kasar dan memakan banyak tenaga, lantaran fisiknya yang rata-rata lebih kecil dan lebih lembut. Sebaliknya, laki-laki pada umumnya tidak begitu mampu melakukan/me-nyelesaikan pekerjaan yang halus-halus, yang memerlukan ketekunan dan ketelitian. Di sinilah letak titik temu dua jenis manusia (laki-laki dan perempuan itu), yakni dalam bentuk kerja sama untuk satu kepentingan. Sebenarnya keadaan saling membutuhkan ini tidak hanya sampai begitu saja. Laki-laki yang umumnya bersikap tegas, keras, kasar, dan intolerans itu memerlukan bantuan semacam koreksi yang lunak, lembut dan halus, yang lebih mudah berperasaan sebagai indera keenamnya dan ini semuanya Allah takdirkan pada wanita.
Dan sebaliknya pula wanita yang relatif lebih peka (mudah tersentuh) dan karenanya lebih mudah terdorong untuk mengambil keputusan dalam jangkauan pendek, memerlukan pimpinan seorang pemimpin yang akan memperhitungkan keputusannya agar tidak menimbulkan akibat-akibat yang tidak begitu enak dalam masa yang panjang. Dan ini Allah ciptakan pada laki-laki.
Jadi, di samping keperluan yang bersifat penyelesaian pekerjaan dari segi kejiwaan pun, laki-laki memerlukan pendamping wanita dan wanita memerlukan pendamping laki-laki. Kalau anak-anak larinya kepada ibu atau bapaknya, orang-orang dewasa kepada suami atau istrinya.
Ketenangan yang lain ialah dalam segi 'irbah. Orang yang sudah mempunyai jodoh (suami atau isteri) relatif lebih bisa mengendalikan diri, lantaran sudah mempunyai tempat pe-nyaluran beban/syahwat. Jadi sudah selayaknya bila orang ini tidak mudah tergelincir dalam kemaksiatan karena ketenangan jiwa dan syahwatnya.

Sesuai dengan fitrahnya, laki-laki mempunyai kelebihan atas wanita. Dengan kelebihan itu, Allah jadikan laki-laki sebagai pemimpin atas wanita dan Allah suruh wanita thaat dan menghargai laki-laki (suaminya), berusaha mencari ridha suami sepanjang tidak mendurhakai Allah. Hal ini sebagaimana hadits:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ انَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ايُّمَا امْرَاةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا ، دَخَلَتِ الْجَنَّةَ . (رواه ابن ماجه والتّرمذى وقال حديث حسن غريب وصحّحه الحاكم) [5]
Artinya:
Dari Ummi Salamah, bahwasanya Nabi saw. bersabda: "Mana-mana perempuan yang mati sedangkan suaminya ridha darinya maka perempuan itu masuk jannah. Hadits riwayat Ibnu Majah dan At-Turmudzi dan dia katakan: “Hadits hasan gharib”, dan Hakim menshahihkan-nya.

Jadi dengan nikah amanat ini bisa dilaksanakan, dan demikian pula halnya dengan amalan sebagaimana hadits di atas.

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ج هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَانْتُمْ لِبَاسٌ قلى لَهُنَّ عَلِمَ اللهُ انَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ انْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ صلى فَاْلاَنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ ج [6]
Artinya:
Dihalalkan untuk kamu sekalian pada malam hari puasa (shaum) itu berkumpul (rafats) kepada perempuan-perempuan kalian (isteri). Mereka itu adalah (seumpama) pakaian untuk kamu sekalian dan kamu sekalian pun (seumpama) pakaian untuk mereka (isteri-isteri). Allah mengetahui bahwasanya kalian akan mengkhianati diri-diri kalian sendiri, maka Dia memberi taubat atas kamu sekalian dan Dia maafkan dari kalian. Maka sekarang gaulilah mereka itu (isteri-isteri) dan carilah apa-apa yang Allah tetapkan untuk kamu sekalian.

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ صلى ثُمَّ اتِمُّوْا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ج وَلاَ تُبَاشِرُوْهُنَّ وَانْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِى اْلمَسَاجِدِ قلى تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوْهَا قلى كَذلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ [7]
Artinya:
Dan makan serta minumlah sehingga terang bagi kalian tali putih dari tali hitam dari waktu fajar, kemudian sempurnakanlah shaum (puasa) kamu itu sampai malam hari, dan janganlah kalian menggauli mereka (isteri-isteri) sedang kalian diam di masjid-masjid. Demikian itu adalah batas-batas Allah, maka jangan kalian mendekatinya. Seperti itulah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya untuk manusia supaya mereka itu terpelihara.

Demikianlah Allah telah menghalalkan perempuan atas laki-laki dan laki-laki atas perempuan, sesudah mereka melalui prosedur yang Allah tentukan, yakni nikah. Sesudah nikah, sedemikian dekatnya mereka antara yang satu dengan yang lain, sehingga Allah umpamakan yang satu jadi pakaian buat yang lainnya.

نِسَآئُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ انَّى شِئْتُمْ صلى وَقَدِّمُوْا ِلاَنْفُسِكُمْ ج وَاتَّقُوْا اللهَ وَاعْلَمُوْا انَّكُمْ مُلاَقُوْهُ قلى وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ [8]
Artinya:
Perempuan-perempuan kalian itu adalah (seumpama) ladang buat kalian; maka datangilah ladang kalian itu itu sekehendak kalian dan dahulukanlah untuk diri kalian; dan taqwalah kalian kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya kalian akan berjumpa dengan-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman itu.

Demikianlah Allah umpamakan perempuan itu ladang bagi laki-laki tempat dia me-nanamkan benih yang diharapkan tumbuhnya. Kalau tidak ada seorang petanipun yang tidak mengharapkan benih yang ditanam diladang tumbuh subur, maka seperti itu pulalah semesti-nya tidak seorang manusiapun mengharapkan bahwa benih yang dia tanamkan di ‘ladang’nya itu tidak tumbuh menjadi anak.
Begitu pula kalimat وَ قَدِّمُوْا لاَنْفُسِكُمْ dalam ayat ini diterangkan oleh mufassirin sebagai: mengharapkan mendapat anak sebagai hasil menanamkan benihnya, yang setelah dididik nanti nya diharapkan menjadi anak yang shalih yang mendo’akan orang tuanya.

Bahwa mendapatkan anak itu merupakan sebagian dari tujuan nikah, adalah seperti yang diterangkan pula dalam hadits:
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِنِّى اصَبْتُ امْرَاةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ وَانَّهَا لاَ تَلِدُ افَاتَزَوَّجَهَا ؟ قَالَ : لاَ ، ثُمَّ اتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ ، ثُمَّ اتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ : تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّى مُكَاثِرُ بِكُمُ اْلاَمَمَ  [9]
Artinya:
Dari Ma’qil bin Yasar berkata: Telah datang seorang laki-laki kepada Nabi saw. lalu berkata: “Sesungguhnya aku ini mendapatkan seorang perempuan yang mempunyai kemuliaan (peng-aruh) dan kecantikan; dan sesungguhnya dia itu tidak beranak; adakah (bolehkah) aku menikahinya? Bersabda (Nabi saw.): ‘Jangan!’ kemudian laki-laki itu mendatangi beliau (untuk) kedua kalinya, maka beliau melarangnya; kemudian laki-laki itu mendatangi beliau (untuk) yang ketiga kalinya, maka bersabdalah beliau: ‘Menikahlah kalian perempuan pengasih yang banyak anaknya, karena sesungguhnya aku ini akan dengan banyaknya kalian atas segala ummat”.

Dari larangan Rasulullah saw. kepada sahabat untuk menikahi perempuan yang tidak dapat mempunyai anak (berdasarkan pengetahuan yang sudah ada atau yang sudah berlaku) dapat diketahui bahwa mendapatkan keturunan itu merupakan sebagian dari tujuan pernikahan, meskipun unsur untuk mendapatkan kesenangan itu juga terdapat di sana.
Demikian pula kalimat: وَ ابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ yang artinya: (Dan carilah apa-apa yang Allah tetapkan untuk kamu sekalian) dalam surat Al-Baqarah 187 yang lalu menunjukkan bahwa mendapatkan keturunan itu merupakan satu hal yang tidak mungkin diabaikan dari adanya pernikahan.
Dari keempat tujuan nikah tadi dapatlah nantinya diambil suatu rumusan bahwa pada pokoknya suatu pernikahan itu dilakukan oleh seorang laki-laki dengan perempuan dengan prinsip untuk tolong-menolong mencari ridla Allah.



[1] Surat Ar-Rum (30): 21.
[2] Surat An-Nisa’ (4): 34.
[3] Surat An-Nisa’ (4): 34.
[4] Surat An-Nisa’ (4): 34.
[5] Asy-Syaukani, Nailul Authar, juz 6, hlm. 218, h. 2804, kitab 40 Al-Walimah wal bina ‘alan nisa` wa usyratihinna, bab 777 Ihsanul ‘Usyrah wa Bayani Haqqiz Zaujaini.
[6] Surat Al-Baqarah (2): 187.
[7] Surat Al-Baqarah (2): 187.
[8] Surat Al-Baqarah (2): 223.
[9] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, jld. 1, hlm. 471, h. 2050, kitab An-Nikah, bab 4 An-Nahyu ‘an Tazwiji man lam yalid minan Nisa`dan lafadh ini baginya. An-Nasa’i, Sunan, juz 6, hlm. 65-66, h. 3175, kitab 26 An-Nikah, bab 11 Karahiyatu Tazwijil ‘Aqim, pada bab ini terdapat riwayat Anas. Dan Ahmad, Al-Musnad, juz 3, hlm. 158 dan 245.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About