KEDUDUKAN HAK DAN KEWAJIBAN
Bahwa kedudukan laki-laki sebagai pemimpin wanita dalam aturan rumah tangga
sudah diterangkan dengan surat An-Nisa' (4) :34 yang lalu.
Adapun tentang hak-hak wanita diterangkan oleh Rasulullah saw.:
عَنْ
حَكِيْمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ عَنْ ابِيْهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ
اللهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ احَدِنَا عَلَيْهِ ؟ قَالَ : انْ تُطْعِمَهَا إِذَا
طَعِمْتَ ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ ، وَلاَ تَضْرِبِ اْلوَجْهَ وَلاَ
تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَ فِى اْلبَيْتِ . قَالَ ابُوْ دَاوُدَ - وَلاَ
تُقَبِّحْ انْ تَقُوْلَ : قَبَّحَكِ اللهُ (رواه أحمد وأبو داود واللّفظ له وابن ماجه)[1]
Artinya:
Dari Hakim bin Muawiyah Al-Qusyaisy, dari bapaknya, dia berkata, aku
berkata: "Wahai Rasulullah! Apa hak istri salah seorang dari kami ini atas
suaminya?" (Rasulullah saw.) bersabda: "Bahwa engkau memberi makan
dia (isteri) apabila engkau makan, engkau memberi pakaian dia
apabila engkau berpakaian, jangan engkau memukul wajahnya, jangan engkau menjelekkan
(dia), dan jangan engkau meninggalkan (dia) kecuali di rumah!". -Abu Dawud
berkata- dan jangan engkau menjelekkan kamu dengan berkata: "Mudah-Mudahan Allah menjauhkan engkau dari kebaikan!". Diriwayatkan
oleh Ahmad, Abu Dawud dan lafadh ini baginya, dan Ibnu Majah.
Abu Dawud berkata: “ لاَ
تُقَبِّحْ maksudnya bahwasanya kamu
mengucapkan قَبَّحَكِ
اللهُ.” (artinya: "Mudah-Mudahan
Allah menjauhkan engkau dari kebaikan!").
Meskipun dalam hadits ini tidak dikatakan secara langsung (redaksionalnya),
tetapi praktis hadits ini menerangkan surat An-Nisa' (4): 34 yang lalu.
Dan dari
hadits ini pula kita dapatkan rumusan yang praktis dan tepat tentang hak-hak
wanita yang harus dipenuhi pria dalam
kalimat yang sederhana. Kita lihat di sini bahwa makanan dan pakaian wanita
(isteri) itu menjadi tanggung jawab laki-laki (suami), sebagaimana kalimat وَ بِمَا انْفَقُوْا مِنْ امْوَالِهِمْ, dalam surat An-Nisa' (4): 34.
Meskipun
pada dasarnya setiap orang baik laki-laki maupun perempuan itu diperbolehkan/
disuruh untuk menuntut rizqi Allah yang halal buat mereka, tetapi dengan
keterangan ayat dan hadits ini nyatalah perbedaan antara perempuan yang dalam
status bersuami dengan yang tidak. Wanita yang bersuami berhak mendapatkan
(diurusi) makan dan pakaiannya dari suaminya. Tetapi dibalik itu timbul pula
kewajiban yang lain, yakni kewajiban terhadap suami. Adapun wanita yang tidak
bersuami sudah barang tentu tidak ada kewajiban sebagaimana yang (masih)
bersuami, tetapi dengan konsekuensi lain pula, yakni mengurusi nafaqahnya
sendiri. Sudah barang tentu tujuan pernikahan tidak hanya ini saja !.
Dalam hadits
ini kita lihat pula suatu siratan bahwa wanita itu berhak mendapatkan didikan
dan pimpinan dari suami sebagaimana ayat: الرِّجَالُ
قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ dan
kalimat فَعِظُوْهُنَّ dalam
ayat yang sama surat An-Nisa' (4): 34.
Dengan kata
lain, kalimat وَ لاَ تُقَبِّحْ dan لاَ تَضْرِبِ الوَجْهَ dalam
hadits ini menunjukkan bahwa kalau perlu suami diperbolehkan memukul untuk
memimpin dan mendidik isteri, baik si isteri itu senang atau tidak senang
terhadap perlakuan laki-laki (suami), di samping itu pula terdapat pengertian
bahwa suami pun harus pandai-pandai membatasi diri.
Kalau
laki-laki harus menegur dan menasehati wanita (isteri) -bahkan kalau perlu
dengan memukul pula- itu tidaklah berarti lantaran suami harus tinggi derajatnya
dengan jalan merendahkan yang lain (isterinya), tetapi justru karena laki-laki
(suami) pun disuruh menghargai wanita.
Orang yang
bisa membayangkan betapa tidak enaknya orang ditampar pada mukanya, niscaya
dapat merasakan dan memahami bahwa kalimat لاَ
تَضْرِبِ الْوَجْهَ itu
terdapat suatu unsur penghargaan yang dalam. Jadi laki-laki (suami) meskipun
dalam keadaan marah disuruh menahan diri dengan tetap menghargai wanita
(isteri) dan tidak meruntuhkan atau membinasakannya, baik dengan lisan maupun tangannya.
Lebih jauh
kita lihat dalam hadits ini bahwa unsur perlindungan pun merupakan hak wanita
yang harus ditunaikan suami, sebagaimana tersirat dalam kalimat:وَلاَ تَهْجُرْ إلاَ فىِ الْبَيْتِ.
Sebab
sebagaimana telah diakui oleh umum bahwa wanita itu lemah keadaannya. Maka
meninggalkan wanita di luar rumah sama saja dengan menghadapkan wanita ini
kepada bahaya dan gangguan lainnya.
Karenanya
dengan hadits ini laki-laki dituntut tanggung jawabnya untuk memberikan
perlindungan kepada wanita (isteri) dengan -setidak-tidaknya- hanya
meninggalkan isteri tadi di tempat yang aman, yakni di rumah.
Menurut
ajaran Islam, meninggalkan isteri di rumah ini tidak saja merupakan bagian dari
perlindungan tetapi juga merupakan penghargaan dan penghormatan, sebab lebih baiknya
perempuan adalah yang lebih banyak tinggal di rumah. Dan Allah melarang
perempuan tabarruj (keluar rumah dengan berhias-hias memperlihatkan
kecantikan).
Dari
pengertian hadits yang demikian itu, dapatlah diambil kesimpulan bahwa hak
wanita (isteri) atas laki-laki (suami) itu adalah:
1. Makanan
dan pakaian.
2. Didikan
dan pimpinan.
3. Penghargaan.
4. Perlindungan.
Karena kemampuan tiap orang
(laki-laki) itu tidak sama dan hak wanita itu hanya akan ditunaikan berdasarkan
ukuran kemampuan laki-laki (suami), maka sudah barang tentu bagian dari hak
yang diterima oleh setiap wanita itu tidak sama.
Demikian pula untuk seorang
wanita, hak ini kadang-kadang dapat berubah-ubah menjadi bertambah dan
berkurang tergantung keadaan orang yang menunaikannya (suaminya). Apabila suami
(laki-laki) ini lebih banyak tanggung jawabnya, maka ada kemungkinan bahwa
wanita (isteri) akan terkurangi haknya. Hal ini misalnya pada suami yang
mempunyai banyak kesibukan atau kegiatan, yang sedang menghadapi
tugas/pekerjaan menumpuk, yang mempunyai isteri lebih dari satu (poligami) dsb.
Wanita sering tidak senang dengan
tidak sempurnanya penunaian hak ini, karena memang pada dasarnya manusia ini
kikir, tidak senang haknya dikurangi. Tetapi Allah menyatakan:
Artinya:
Dan barang siapa yang menjaga diri
(dari) kekikiran dirinya, maka mereka itu adalah orang-orang yang mendapat kejayaan.
Maka sebaik-baik jalan bagi
wanita beriman apabila terjadi pengurangan hak ini adalah sebagaimana sabda
Rasulullah saw. kepada sahabat:
Artinya:
"Tunaikanlah kepada mereka
(pemimpin) itu hak mereka dan kalian mintalah kepada Allah hak
kalian!"
Jadi
bilamana terjadi pengurangan makanan/minuman, didikan/pimpinan, penghargaan
atau perlindungan suami atas isterinya, selayaknyalah isteri yang beriman ini
menyeru kepada Allah untuk mendapat ganti kebaikan dan perbaikan, tetapi harus
tetap memenuhi kewajiban sebagai isteri dan tidak melanggar syara'.
Bagi orang
yang tidak beriman, cara ini sudah barang tentu tidak bisa diterima, sebab
mereka mempunyai anggapan bahwa di antara hak dan kewajiban mereka itu ada
semacam balasan (perimbangan), yang berarti bahwa kewajiban mereka (dalam rumah
tangga) itu hanya akan ditunaikan berdasarkan hak yang mereka dapatkan.
Adapun orang
beriman mempunyai
pikiran yang berbeda. Kewajiban mereka (dalam hal ini isteri kepada suami) itu
merupakan hal yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah, sedangkan hak mereka (isteri) yang menjadi
kewajiban bagi suami itu kelak akan dipertanggung-jawabkan pula oleh suami
kepada Allah sebagaimana pemimpin pada umumnya, menurut sabda Nabi saw.:
Artinya:
“Karena sesungguhnya atas tanggungan
merekalah apa yang mereka itu dibebani (kewajiban mereka) dan atas tanggungan
kalianlah apa yang kalian dibebani (kewajiban kalian).”
Demikian pula halnya suami,
apabila pengurangan hak isteri itu terus terjadi sampai melewati batas yang
diizinkan Allah, niscaya dia (suami) akan dituntut oleh Allah (bukan isteri)
sebagaimana sabda Nabi saw.:
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيْحَةٍ إِلاَ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ [5]
Artinya:
“Tidak ada dari seseorang hamba
yang Allah menjadikannya (sebagai) pengurus akan satu rakyat padahal dia tidak
membentenginya dengan nasehat, kecuali dia itu tidak mendapatkan baunya jannah.”
Adapun yang termasuk dalam
nasehat itu bukan hanya dengan omongan belaka, melainkan juga dengan tindakan,
harta atau lainnya menurut keadaan dan keperluannya.
Tetapi kesabaran dan seruan
isteri kepada Allah itu tidaklah berarti bahwa isteri sama sekali tertutup
kemungkinannya untuk mengadakan "koreksi" terhadap penunaian kewajiban suami (hak isteri).
Yang penting dalam hal ini harus dijaga agar "koreksi" ini tidak
melalui prosedur yang keliru, tetapi tetap dalam batas-batas yang diperkenankan
oleh Allah. Niat diadakannya koreksi ini yang pokok bukan penuntutan hak
isteri, melainkan karena kecintaan dan kasih sayang isteri kepada suaminya,
yakni untuk menjaga agar suami itu tidak terjerumus ke dalam neraka.
Apabila hak wanita
itu jadi kewajiban atas laki-laki (suami) sebagaimana telah diterangkan, maka
sebaliknya hak laki-laki (suami) pun menjadi kewajiban atas wanita (isteri).
Sehubungan
dengan hal ini di antaranya diriwayatkan:
عَنْ عَمْرِو بْنِ اْلاَحْوَصِ انَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ اْلوَدَاعِ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللهَ وَاثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَرَ
وَوَعَظَ ، ثُمَّ قَالَ اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَآءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ
عِنْدَكُمْ عَوَانٌ لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذلِكَ إِلاَ انْ
يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِى
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ اطَعْنَكُمْ فَلاَ
تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاَ ، إِنَّ لَكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ حَقًّا ،
وَلِنِسَآئِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا ، فَامَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَآئِكُمْ فَلاَ
يُوْطِئْنَ فِرَشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ وَلاَ يَأْذَنَّ فِى بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ
تَكْرَهُوْنَ0 الاَ وَحَقَّهُنَّ عَلَيْكُمْ انْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فِى كِسْوَتِهِنَّ
وَطَعَامِهِنَّ . (رواه ابن ماجه و التّرمذى وصحّحه) [6]
Artinya:
Dari 'Amr bin Al-Ahwash bahwasanya
dia itu menghadiri haji wada' beserta Nabi saw. Maka beliau (Nabi saw. dalam
khutbah beliau) memuji Allah dan menyanjung atas-Nya. Dan beliau mengingatkan
serta menasehati, kemudian bersabda: "Berwasiatlah kalian dengan
kebaikan atas perempuan-perempuan, karena sesungguhnya mereka itu (seperti)
tawanan yang ada pada kalian (yang) kalian tidaklah memiliki dari mereka itu
sesuatu pun, kecuali jika mereka mendatangi (memperbuat) fahisyah yang terang.
Maka jika mereka memperbuat (kekejian),
maka tinggalkanlah mereka itu di tempat tidur. Dan (jika sesudah itu masih juga
memperbuat) pukullah mereka itu dengan pukulan yang tidak sangat
menyakitkan/membahayakan. Maka jika mereka telah mentaati kamu sekalian, maka
janganlah kalian mencari-cari jalan atas mereka (untuk menyusahkan mereka).
Sesungguhnya untuk kamu sekalian (laki-laki) itu ada hak dari
perempuan-perempuan (isteri-isteri) kamu sekalian, dan bagi perempuan-perempuan
kalian itu ada hak atas (kewajiban) kalian. Maka adapun hak kalian atas
perempuan-perempuan kalian adalah mereka tidak boleh menghamparkan tikar kalian
(untuk) orang yang kalian benci dan mereka tidak boleh mengizinkan (masuk) ke
dalam rumah kalian bagi orang yang kalian benci. Ketahuilah! Sedangkan hak
mereka atas kalian ialah bahwa kalian berbuat baik kepada mereka dalam urusan
pakaian dan makanan mereka!". Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Turmudzi dan dia
menshahihkannya.
Dalam hadits
yang isinya sejalan dengan surat An-Nisa' (4): 34 ini pada dhahirnya
diterangkan hak laki-laki atas wanita dan sebaliknya juga hak wanita atas
laki-laki. Tetapi di dalam matan hadits
itu tercantum pula hak dan kewajiban wanita yang tidak disebutkan secara
langsung dalam kalimat فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
Secara tidak
langsung, jadi secara halus diterangkan bahwa sebenarnya wanita itu mempunyai
hak untuk "digauli" dari suaminya dan hak yang ini berbeda sifatnya
dengan hak soal makanan dan lainnya, lantaran yang ini bisa ditinggalkan oleh
suami sebagai ta'dib (pengajaran) manakala dikhawatirkan isteri melalaikan
kewajibannya. Demikian pula dalam kalimat: فَإِنْ اطَعْنَكُمْ
فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاَ tersirat
pengertian bahwa wanita (isteri) itu harus taat kepada suaminya, sebagaimana
banyak diterangkan dalam hadits-hadits yang lain. Ini berarti menjadi hak suami
dan kewajiban atas isteri.
[1] Ahmad , Al-Musnad,
juz 4, hlm. 446 dan 447. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, jld. 1, hlm.
491-492, h. 2142, kitab An-Nikah, bab 42
fi haqqil mar`ati ‘ala zaujiha (lafadh ini baginya).
[3] Al-Bukhari, Ash-Shahih, jld.4, hlm. 257, h. 7052,
kitab 93 Al-Fitan, bab 2 qaulin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam satarauna
ba’di umuran tunkirunaha.
[4] At-Turmudzi, As-Sunan,
juz 4, hlm. 488, h. 2199 (hadits hasan shahih), kitab 34 Al-Fitan, bab ma ja`a satakuna fitanun
kaqithaul lailil mudhlim.
[5] Al-Bukhari, Ash-Shahih,
jld. 4, hlm. 274, h. 7150, kitab 93 Al-Ahkam, bab 8 man istur’iya
ra’iyyatan walam yanshah.
[6] Asy-Syaukani, Nailul Authar, juz 6, hlm. 221, h. 2810, kitab 40 Al-Walimah wal bina ‘alan
nisa` wa usyratihinna, bab 777 Ihsanul ‘Usyrah wa Bayani Haqqiz Zaujaini.
0 komentar:
Posting Komentar